Jumat, 04 Desember 2009

Proses Pembentukan Kota Denpasar



Pendahuluan

Denpasar pada mulanya merupakan pusat Kerajaan Badung,akhirnya pula tetap menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan bahkan mulai tahun 1958 Denpasar dijadikan pula pusat pemerintahan bagi Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Dengan Denpasar dijadikan pusat pemerintahan bagi Tingkat II Badung maupun Tingkat I Bali mengalami pertumbuhan yang sangat cepat baik dalam artian fisik, ekonomi, maupun sosial budaya.

Keadaan fisik Kota Denpasar dan sekitarnya telah sedemikian maju serta pula kehidupan masyarakatnya telah banyak menunjukkan ciri-ciri dan sifat perkotaan. Denpasar menjadi pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat pendidikan, pusat industri dan pusat pariwisata yang terdiri dari 4 Kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar Timur, Denpasar Selatan dan Denpasar Utara.

Melihat perkembangan Kota Administratif Denpasar ini dari berbagai sektor sangat pesat, maka tidak mungkin hanya ditangani oleh Pemerintah yang berstatus Kota Administratif. Oleh karena itu sudah waktunya dibentuk pemerintahan kota yang mempunyai wewenang otonomi untuk mengatur dan mengurus daerah perkotaan sehingga permasalahan kota dapat ditangani lebih cepat dan tepat serta pelayanan pada masyarakat perkotaan semakin cepat.


Proses Pembentukan Kota Denpasar

Seperti halnya dengan kota-kota lainnya di Indonesia, Kota Denpasar merupakan Ibukota Propinsi mengalami pertumbuhan dan perkembangan penduduk serta lajunya pembangunan di segala bidang terus meningkat, memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kota itu sendiri. 

Demikian pula dengan Kota Denpasar yang merupakan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan sekaligus juga merupakan Ibukota Propinsi Daerah Tingkat I Bali mengalami pertumbuhan demikian pesatnya. Pertumbuhan penduduknya rata-rata 4,05% per tahun dan dibarengi pula lajunya pertumbuhan pembangunan di berbagai sektor, sehingga memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap Kota Denpasar, yang akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan perkotaan yang harus diselesaikan dan diatasi oleh Pemerintah Kota Administratif, baik dalam memenuhi kebutuhan maupun tuntutan masyarakat perkotaan yang demikian terus meningkat.

Berdasarkan kondisi obyektif dan berbagai pertimbangan antara Tingkat I dan Tingkat II Badung telah dicapai kesepakatan untuk meningkatkan status Kota Administratif Denpasar menjadi Kota Denpasar. Dan akhirnya pada tanggal 15 Januari 1992, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kota Denpasar lahir dan telah diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 27 Pebruari 1992 sehingga merupakan babak baru bagi penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah Tingkat I Bali, Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan juga bagi Kota Denpasar.

Bagi Propinsi Daerah Tingkat I Bali adalah merupakan pengembangan yang dulunya 8 Daerah Tingkat II sekarang menjadi 9 Daerah Tingkat II. Sedangkan bagi Kabupaten Badung kehilangan sebagian wilayah serta potensi yang terkandung didalamnya.

Bagi Kota Denpasar yang merupakan babak baru dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang walaupun merupakan Daerah Tingkat II yang terbungsu di wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Bali.


Catatan :

Jumlah penduduk Kota Denpasar   613.000 jiwa tersebar di empat kecamatan:
1. Kecamatan Denpasar Utara 158.000 jiwa
2. Kecamatan Denpasar Barat 169.000 jiwa
3. Kecamatan Denpasar Timur 128.000 jiwa
4. Kecamatan Denpasar Selatan 158.000 jiwa

Sumber :
http://www.denpasarkota.go.id/


Catatan:

Luas dan Batas Wilayah

Secara geografis Kota Denpasar terletak antara 08o35'31'' - 08o44'49'' Lintang Selatan dan 115o10'23'' - 115o16'27'' Bujur Timur dengan luas wilayah 127,78 km2.


Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk Kota Denpasar berdasarkan data dari Badan Pusat statistik pada tahun 2002 secara administratif adalah sebanyak 561.814 jiwa. Sedangkan di wilayah dengan kepadatan penduduk > 5000 jiwa/km2 sebesar 303.999 jiwa. Pertumbuhan penduduk rata-rata 4,05% per tahun.


Sarana dan Prasarana

Sarana fasilitas umum kota Denpasar meliputi:

Ruang Hijau Terbuka Jumlah taman kota : 100 taman kota
Luas taman kota : 133.513 ha
Luas jalur hijau jalan : 5.153,82 ha
Luas jalur hijau sungai : 5,302 ha
Jumlah hutan kota : 1 hutan kota
Luas hutan kota : 137,50 ha


Jalan yang terdiri dari Arteri/Utama, Kolektor/Penghubung dan Lokal/Lingkungan dengan panjang: Jalan arteri/utama : 45,87 km
Kolektor/penghubung : 27,42 km
Lokal/lingkungan : 437,487 km

Sumber :
http://www.menlh.go.id/adipura/peserta.php?detail=1&id=43

Peta Kota Denpasar


Lihat Peta Lebih Besar

Facebook, Mulai Dilirik Pemkot Denpasar

Hampir sebagian pengguna internet di dunia kini keranjingan Facebook. Sebagai web jejaring sosial, facebook banyak memiliki kelebihan salah satunya adalah sebagai media diskusi diantara pengguna-penggunanya. Dimulai dari obrolan ringan di Warung Subak Denpasar, Bapak Rai Mantra Walikota Denpasar mencetuskan ide untuk melanjutkan diskusi ke dunia maya alias facebook. Bersama para wakil Industri Kreatif Bali untuk santap siang, Pemkot Denpasar menginginkan setiap kebijakan bisa dishare ke masyarakat luas terutama yang peduli dengan Kota Denpasar. Ada beberapa pejabat Pemkot yang aktif menggunakan facebook seperti Bapak Rai Darmawijaya Mantra (Walikota Denpasar), Gde Dharma Duaja (Kepala Dinas Kominfo Denpasar), Dewa Agung (Kepala Bagian Perekonomian Denpasar) dan Nyoman Aryana (Staf Ahli Pemerintahan Denpasar).

Tahun 2009 memang ditunjuk sebagai tahun Ekonomi Kreatif untuk Kota Denpasar. Ini bisa dibuktikan dengan diadakan beberapa pameran dan festival yang melibatkan dunia industri terutama industri kecil menengah. Gajah Mada Town Festival akhir tahun 2008, Pasar Lais Meseluk di 4 kecamatan di Kota Denpasar dan beberapa pameran lainnya mampu mendatangkan banyak warga Kota Denpasar yang sudah lama tidak merasakan hiburan seperti kuliner, pasar murah, live musik, parade ndek, parade motor tua dan lainnya.

Sepertinya Pemkot membaca keinginan dari warganya. Perlu ada kebijakan-kebijakan Pemerintah yang bisa dishare ke masyarakat dan industri kreatif yang akan mendukung kebijakan tersebut sehingga kebijakan tersebut dapat dirasakan warga kota. Dengan fasilitas kritik saran dan komunitas forum yang tersedia di portal Denpasar (www.denpasarkota.go.id), Pemkot ingin men-share kebijakan tersebut. Perkembangannya, kini Pemkot pun mulai melirik facebook sebagai media diskusi. Walikota Denpasar telah memerintahkan Kepala Dinas Kominfo beserta staf ITnya untuk mengenalkan facebook dikalangan pegawai Pemkot Denpasar. Sehingga terjalin komunikasi untuk mendapatkan ide-ide kreatif dalam membangun Kota Denpasar.


Kita tunggu saja sejauh mana penggunaan facebook ini efektif dilakukan. Mudah-mudahan apapun kebijakan yang dishare ke masyarakat luas, bisa mendapatkan hasil yang memuaskan bagi warga Kota.

Forum Denpasar : http://www.denpasarkota.go.id/komunitas/

Facebook Walikota Denpasar : Rai Darmawijaya Mantra

Sumber :
Dewa Rama
23 April 2009

Pak Walikota, Buatlah Tempat Nongkrong di Denpasar

Salah satu hal menarik yang saya temui ketika numpang lewat di Mataram, Jumat pekan lalu adalah adanya tempat nongkrong di kota ini. Di Jalan Udayana, sekitar Bandara Selaparang, ada lokasi yang memang diperuntukkan untuk warga kota duduk santai di sini. Tak hanya bersantai-santai tapi juga bersantap enak dan murah.

Rizal Hakam, sopir taksi yang mengantar saya ke sini menyebut tempat ini kawasan jalan Udayana. Begitu pula dengan pedagang kaki lima yang saya ajak ngobrol malam itu. Jadi memang tidak ada nama khusus untuk menyebut lokasi ini. Saya sebut saja tempat ini pusat lesehan Udayana. Agak unik saja sih. Udayana tapi ada di Mataram.

Pusat lesehan Udayana ini persis di depan Bandara Selaparang. Hanya terpisah dua ruas jalan. Karena itu meski tujuan saya adalah ke bandara untuk balik ke Bali, saya minta turun di pusat lesehan ini saja.

Tempat ini berupa deretan lapak pedagang kaki lima (PKL) di pinggir taman jalan. Jadi ada jalan raya, taman, baru lapak-lapak PKL. Pengunjung bisa duduk di tikar yang digelar di atas rumput taman. Ada meja di tengah tikar tersebut. Satu tikar dan meja itu bisa cukup untuk 5-10 orang. Jadi saya bayangkan pasti asik banget untuk tempat nongkrong dan ngobrol.

Warung-warung di pusat lesehan ini menjual makanan berat dan ringan. Misalnya makanan besar seperti nasi goreng, pecel lele, plecing kangkung, dan seterusnya. Ada juga minuman hangat ataupun dingin seperti teh, jeruk, jus, dan sejenisnya.

Malam itu saya pilih menu sate bulayak, makanan khas Lombok. Menu ini berupa sate irisan daging sapi yang lebih mirip jeroan daripada daging karena saking tipisnya dengan bulayak, semacam ketupat tapi dibungkus berbentuk lonjong. Kalau di tempat kelahiran saya Lamongan, Jawa Timur, bulayak ini mirip lepet. Bedanya lepet dibuat dari ketan, sedangkan bulayak dari beras. Di Bali juga ada bulayak ini meski hanya biasa dimakan ketika upacara.



Sambil menikmati sate bulayak yang lumayan pedes dengan bumbu terbuat dari santan sangat kental dan merah kecoklatan karena cabe itu, saya duduk lesehan dan melihat anak-anak muda Mataram sedang nongkrong di sana. Lesehan itu di tempat terbuka. Jadi semilir angin sangat terasa. Ada beberapa meja tikar yang di bawah pohon. Tapi lebih banyak pula yang di tempat terbuka biasa saja.

Menurut pedagang tempat di mana saya duduk, lesehan ini buka sejak sekitar tiga tahun lalu. Di sepanjang jalan itu ada sekitar 200 PKL yang berdagang. Tapi saya perhatikan tempat itu rapi. Maksudnya tidak berantakan meskipun dipenuhi PKL. Artinya, PKL tidaklah berarti mengganggu wajah kota. Asal dikelola dengan baik, PKL akan menarik.

Sambil menyeruput jus apel segar hanya seharga Rp 5000, saya mikir, kenapa ya Denpasar tidak juga punya pusat lesehan semacam ini? Masak Denpasar kalah sama Mataram?

Kalau dipikir dari perspektif ekonomi, lumayan juga lho. Menurut pedagang itu, dalam satu malam dia bisa mendapat rata-rata Rp 500 ribu kalau lagi ramai. Kalau sepi pengunjung “hanya” sekitar separuhnya. Tiap malam dia membayar Rp 20 ribu sampai Rp 35 ribu untuk petugas penarik lapak. Untuk menyewa tempat tersebut, dia membayar Rp 50 ribu per tahun. Ada sekitar 200 PKL di tempat tersebut.

Jika, katakanlah rata-rata satu pedagang mendapat Rp 300 ribu satu malam, berarti ada Rp 60 juta uang berputar tiap malam di sana. Bagi saya sih itu lumayan besar. Tak heran jika di Mataram, kata ibu pedagang, ada tiga tempat nongkrong semacam pusat lesehan jalan Udayana ini. Semuanya difasilitasi Pemkot Mataram.

Selain Mataram, beberapa tempat yang pernah saya kunjungi juga punya pusat lesehan semacam ini. Di Solo, Jawa Tengah misalnya. Ada tempat nongkrong asik bernama Gladag Langen Bogan alias Galabo, tempat di mana pengunjung bisa menemukan aneka menu khas Solo. Nasi liwet, pecel, timlo, dan seterusnya.

Di Makassar juga ada pusat lesehan di dekat Pantai Losari. Ketika pertama kali ke Makassar, pusat jajanan ini persis di Pantai Losari. Tapi setahu saya kemudian dipindah agak ke selatan dari lokasi semula.

Bahkan kota kecil semacam Parepare di Sulawesi Selatan juga punya. Jadi kalau ingin makan nasi murah meriah kita tinggal pergi ke tempat tersebut.

Semua lesehan di kota-kota itu tertata rapi. PKL dilokalisir di satu tempat sehingga tidak mengganggu wajah kota.

Pusat lesehan atau makanan ketika malam itu, menurut saya, bukan hanya untuk nongkrong tapi sekaligus sebagai identitas kota. Dia akan mengingatkan pengunjung akan kota tersebut. Selama ini saya suka bingung kalau ada teman datang ke Bali dan mau diajak jalan-jalan malam. Paling mentok ya akhirnya di angkringan di Pasar Burung Sanglah.

Denpasar punya beberapa tempat menarik, sebenarnya. Misalnya di perempatan Catur Muka, Taman Kota Lumintang, atau samping Stadion Ngurah Rai. Daripada nganggur, tempat-tempat itu bisa jadi semacam tempat lesehan atau jajanan ketika malam.

Tinggal bagaimana pemerintah mengaturnya agar tempat itu terjaga rapi. Misalnya dengan membatasi jumlah pedagang atau mewajibkan mereka menjaga kebersihan. Menu yang dijual haruslah menu khas Bali seperti lawar, serombotan, jaja bali, plecing, sate lilit, dan seterusnya. Dengan begitu, pusat lesehan ini sekaligus berfungsi untuk melestarikan makanan lokal. Biar tidak hanya sari laut lamongan (hidup Lamongan! Hehehe) dan Circle K yang memenuhi jalan di Denpasar dan, sorry to say, agak mengganggu pemandangan.

Di sisi lain, adanya tempat lesehan juga akan menghidupkan kembali budaya tatap muka ketika hari-hari kita lebih banyak dipenuhi komunikasi lewat dunia maya. Ini penting. Sebab ketika bertatap muka dan ketemu teman untuk ngobrol, biasanya ada saja ide yang lahir. Saya yakin kalau ada tempat semacam itu, Denpasar juga akan dipenuhi ide-ide kreatif warganya yang lahir dari jagongan, cangkruk, dan semacamnya itu.

Maka, Pak Walikota. Segeralah bikin pusat lesehan di Denpasar. [b]

Sumber :
Anton Muhajir
http://www.rumahtulisan.com/13/09/2009/perjalanan/pak-walikota-buatlah-tempat-nongkrong-di-denpasar.html
13 September 2009

Ekonomi Bali 2010 Semakin Pulih

Ekonomi dunia diprediksi pulih pada 2010 bakal berdampak positif pada perekonomiam Bali. Pertumbuhan ekonomi Bali pun diprediksi lebih baik dari daerah lain.

"Harapan kami tahun 2010, ekonomi Bali akan pulih dan lebih baik," kata Pemimpin Bank Indonesia Denpasar Jeffrey Kairupan pada acara Temu Responden Bank Indonesia 2009 di kantor BI Denpasar, jalan Tjokorda Agung Tresna, Denpasar, Rabu (25/11/2009).

Hadir dalam acara ini pakar manajemen Rhenald Kasali dan pemilik Joger Joseph Thedorus Wulianadi.

Dengan pulihnya perekonomian dunia, menurut Jeffrey, kehidupan pariwisata Bali akan semakin baik. Wisatawan mancanegara akan semakin banyak datang ke Bali yang memiliki daya tarik diakui dunia.

Selain pariwisata yang kian pulih, jasa ekspor di Bali pun akan tumbuh sangat besar.

Disebutkan, pertumbuhan ekonomi Bali pada triwulan III tahun 2009 mengalami pertumbuhan sebesar 4,15% dibandingkan 2008. BI berharap, akan meningkat menjadi 5-6% pada triwulan IV.

Sementara itu, inflasi di Bali pada triwulan III pada 2009 stabil sebesar 4,39% dibandingkan 2008. Inflasi Bali lebih tinggi dibandingkan inflasi nasional sebesar 2,57%.

"Relatif tingginya inflasi ini mencerminkan masih tingginya kegiatan ekonomi di Bali," kata Jeffry. (dtc)


Sumber :

http://www.mahadananews.com/3rd/index.php/economy/asia/18008-ekonomi-bali-2010-semakin-pulih

25  November 2009

Denpasar Perlu Balai Budaya

Lahan bekas pusat pemerintahan Badung di Lumintang Denpasar saat ini ''diperebutkan'', dalam arti Gubernur Bali menginginkan lahan tersebut akan dibangun mall atau swalayan. Pembangunan tersebut mengundang pro dan kontra.

Saya pantau lewat media kebanyakan warga yang tidak setuju dengan ide Gubernur Bali Mangku Pastika tersebut karena di Denpasar sudah terlalu banyak ada swalayan dan sejenisnya. Konon katanya Denpasar menyandang predikat kota budaya, tapi rupanya belum tampak tanda-tanda yang mana budayanya. Lebih tepat disebut kota pahlawan dan seribu toko. Karena di setiap perempatan dipajang patung pahlawan.

Saya bukannya tidak setuju adanya patung pahlawan itu tapi untuk yang akan datang pajanglah di lokasi-lokasi strategis patung yang ada nilai budayanya, seperti patung tarian daerah Bali, patung tokoh-tokoh seniman yang pernah mengharumkan nama Bali atau Denpasar.

Saya punya usul lahan bekas Puspem Badung di Lumintang itu sebaiknya dibangun pasar seni atau Balai Budaya sebagai pusat pertemuan para seniman, budayawan dan pengrajin. Di sudut-sudut tertentu dipajang patung tokoh-tokoh budayawan, seniman, semisal Ida Bagus Mantra, raja-raja Bali yang nyeniman dan lain-lain.

Gedung atau balai budaya ini bisa untuk ajang pameran seni rupa dan pengrajin. Sebagai lahannya untuk parkir, taman rekreasi, toko penjual suvenir, panggung mini untuk pementasan kesenian dan tempat penjual makanan/minuman perlu diperhitungkan. Bukan untuk menyaingi taman budaya atau Art Center milik Provinsi Bali itu namun guna meramaikan khasanah seni budaya Denpasar yang berpredikat kota budaya.

Lahan di Lumintang itu lokasinya strategis dengan tersedianya lahan parkir yang memadai ketimbang di Taman Budaya Denpasar.


Sumber :

I Wayan Beratha Yasa, Br. Langon, Kapal, Mengwi, Badung

http://balipost.com/mediadetail.php?module=detailberitaindex&kid=32&id=24709

16  November 2009

Kota Denpasar

Denpasar adalah ibu kota provinsi Bali, Indonesia. Kota ini merupakan pusat ekonomi pulau Bali, di sini terjadi pertemuan antara budaya tradisional Bali dengan budaya barat. Dahulu kota ini terkenal dengan nama Badung. Pada tahun 1906 terjadi di kota ini perang puputan. Dahulu banyak para pedagang dari negara Arab dan Tiongkok yang datang ke sini untuk berdagang. Nama Denpasar berarti pula pasar baru. Di selatan kota ini terletak Bandar Udara Ngurah Rai.


Sejarah

Denpasar pada mulanya merupakan pusat Kerajaan Badung,akhirnya pula tetap menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan bahkan mulai tahun 1958 Denpasar dijadikan pula pusat pemerintahan bagi Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Dengan Denpasar dijadikan pusat pemerintahan bagi Tingkat II Badung maupun Tingkat I Bali mengalami pertumbuhan yang sangat cepat baik dalam artian fisik, ekonomi, maupun sosial budaya.

Keadaan fisik Kota Denpasar dan sekitarnya telah sedemikian maju serta pula kehidupan masyarakatnya telah banyak menunjukkan ciri-ciri dan sifat perkotaan. Denpasar menjadi pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat pendidikan, pusat industri dan pusat pariwisata yang terdiri dari 3 Kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar Timur dan Denpasar Selatan. Melihat perkembangan Kota Administratif Denpasar ini dari berbagai sektor sangat pesat, maka tidak mungkin hanya ditangani oleh Pemerintah yang berstatus Kota Administratif. Oleh karena itu sudah waktunya dibentuk pemerintahan kota yang mempunyai wewenang otonomi untuk mengatur dan mengurus daerah perkotaan sehingga permasalahan kota dapat ditangani lebih cepat dan tepat serta pelayanan pada masyarakat perkotaan semakin cepat.

Seperti halnya dengan kota-kota lainnya di Indonesia, Kota Denpasar merupakan Ibukota Propinsi mengalami pertumbuhan dan perkembangan penduduk serta lajunya pembangunan di segala bidang terus meningkat, memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kota itu sendiri. Demikian pula dengan Kota Denpasar yang merupakan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan sekaligus juga merupakan Ibukota Propinsi Daerah Tingkat I Bali mengalami pertumbuhan demikian pesatnya.

Pertumbuhan penduduknya rata-rata 4,05% per tahun dan dibarengi pula lajunya pertumbuhan pembangunan di berbagai sektor, sehingga memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap Kota Denpasar, yang akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan perkotaan yang harus diselesaikan dan diatasi oleh Pemerintah Kota Administratif, baik dalam memenuhi kebutuhan maupun tuntutan masyarakat perkotaan yang demikian terus meningkat. Berdasarkan kondisi obyektif dan berbagai pertimbangan antara Tingkat I dan Tingkat II Badung telah dicapai kesepakatan untuk meningkatkan status Kota Administratif Denpasar menjadi Kota Denpasar.

Dan akhirnya pada tanggal 15 Januari 1992, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kota Denpasar lahir dan telah diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 27 Februari 1992 sehingga merupakan babak baru bagi penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah Tingkat I Bali, Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan juga bagi Kota Denpasar. Bagi Propinsi Daerah Tingkat I Bali adalah merupakan pengembangan yang dulunya 8 Daerah Tingkat II sekarang menjadi 9 Daerah Tingkat II. Sedangkan bagi Kabupaten Badung kehilangan sebagian wilayah serta potensi yang terkandung didalamnya.

Bagi Kota Denpasar yang merupakan babak baru dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang walaupun merupakan Daerah Tingkat II yang terbungsu di wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Bali.


Tempat Menarik

Pantai Kuta
Pantai Sanur
Jimbaran
Museum Bali
Pasar Badung
Jalan Sulawesi
Jalan Gajah Mada
Taman Puputan
Catur Muka
Bali Hotel
Pura Jagatnatha
Pasar Burung
Puri Pemecutan
Bali Arts Center (Taman Werdhi Budaya)
Pura Maospahit
Darmasaba
Gereja St. Joseph
Pasar Senggol (menjual makanan khas Bali).

Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Denpasar

Sejarah dan Belanja di Denpasar City Tour

Denpasar sebagai Ibukota Provinsi Bali sejak 1999 lalu menawarkan perjalanan wisata kota atau city tour yang mengajak para tamu menelusuri berbagai museum, puri hingga pasar kerajinan rakyat.

Banyaknya animo wisatawan baik asing maupun domestik terhadap program tersebut, mendorong Dinas Pariwisata Daerah (Disparda) Kota Denpasar akan mengembangkan obyek kunjungan lain. Ketika diperkenalkan pertama kali, hanya 10 obyek kunjungan city tour yaitu Taman Budaya (Art Centre), Museum Bali, Museum Le Mayeur, Lingkungan Prasasti Blanjong, Lingkungan Pura Maospahit, Pasar Badung-Kumbasari, Pasar Kreneng, Pantai Sanur, Pulau Serangan dan Taman Festival Bali yang sudah tutup.

Sejumlah obyek yang kini mulai dikembangkan antara lain Pura Jaganatha, Pura Penambangan Badung, Pura Puseh Kesiman Petilan, Pura Desa Denpasar, Puri Satrya, Puri Jro Kuta, Puri Kesiman, Puri Pamecutan, Pasar Burung Satrya, kawasan Padanggalak, Pelabuhan Benoa, kawasan Penatih Lestari, Monumen Perjuangan Rakyat Bali (MPRB), dan Museum Sidik Jari.

Menurut Kadis Pariwisata Denpasar Putu Budiasa, setiap bulan ribuan wisatawan mengunjungi berbagai obyek wisata di Denpasar. Pada Agustus 2007, katanya, kunjungan mencapai 12.273 dan bulan sebelumnya 17225 orang. Museum dan pasar tradisional masih menjadi tujuan favorit. Bahkan, Pasar Kumbasari sebagai pusat penjualan kerajinan yang kini masih dalam penataan paskakebakaran beberapa waktu lalu pun masih menjadi daya tarik utama.

Berbagai obyek wisata city tour tersebut lokasinya berdekatan dan bisa ditempuh dengan berbagai cara. ”Bisa dengan mobil, motor, sepeda, dokar atau bahkan jalan kaki,” lanjut Putu Budiasa. Terlebih Pemkot kini membuat area pedistrian di sepanjang Jalan Gajah Mada, di seputaran Lapangan Puputan Badung dimana juga terletak Museum Bali dan Pura Jaganatha, serta sejumlah kawasan lain. ”Pejalan kaki akan dibuat nyaman berkeliling kota,” katanya.

Biaya masuk ke berbagai museum terbilang murah, Rp 2000 untuk dewasa dan anak-anak hanya membayar Rp 1.000. Setiap museum buka Senin – Jumat pukul 08.30 – 17.00 Wita, dan Sabtu – Minggu dari 09.00 – 17.00 Wita. Sementara Pasar Kumbasari yang menjual aneka suvenir seperti gelang, kalung, tas, baju, hiasan dinding, patung, dan sebagainya tutup pukul 18.00 Wita. Namun pasar tradisional lain yakni Pasar Badung yang hanya berbatas sungai dengan Pasar Kumbasari, aktivitasnya 24 jam.

Konon, kata Budiasa, pulau dengan seribu pura ini menjadi salah satu basis perjuangan melawan Belanda. Beberapa pertempuran besar terjadi di ranah Bali diantaranya tahun 1849 pecah Perang Jagaraga di Buleleng dan Perang Kusamba di Klungkung, 1906 terjadi perang Puputan Badung dan dua tahun berikutnya perang Puputan Klungkung. Terakhir Perang Puputan Margarana di Tabanan tahun 1946 yang dipimpin Letkol I Gusti Ngurah Rai (salah satu Pahlawan Nasional, red).

MPRB dibangun untuk mengingat jasa para pejuang tersebut. Berlokasi di depan Kantor Gubernur Bali, areal Nitimandala, Renon, MPRB diresmikan 14 Juni 2003. Bentuk bangunanya menyerupai bajra (genta) yang menjulang hingga ketinggian 45 meter. Berbagai konsep tradisi Bali seperti Tri Mandala, Tri Angga, Lingga (lambang laki-laki) dan Yoni (perempuan) teradopsi oleh bangunan ini.

Selain menjual keunikan bangunan, MPRB menampilkan 33 diorama berukuran 2 x 3 meter yang menggambarkan proses kehidupan masyarakat Bali mulai dari Masa Prasejarah, Masa Bali Kuno, Masa Bali Madya dan masa Perjuangan Kemerdekaan. Pembuatan diorama mempergunakan boneka menyerupai manusia, binatang, tumbuhan dan peralatan.

Pengetahuan sejarah kehidupan masyarakat Bali akan semakin lengkap dengan meneruskan kunjungan ke Museum Bali, sekitar 1 Km dari MPRB. Di Museum ini, pengunjung bisa melihat benda-benda budaya dari zaman prasejarah hingga sekarang. Kesemuanya mencerminkan unsur kebudayaan Bali yang terdiri dari koleksi arkeologika, historika, seni rupa dan ethnografika. Masih satu areal dengan Museum Bali, kunjungan wisata bisa berlanjut ke Pura Jaganatha. Pura agung ini menjadi tempat bersembahyang ribuan umat Hindu (pamedek) pada saat-saat tertentu, terutama warga Denpasar.

Berbicara sejarah, kurang lengkap bila tak berkunjung ke Museum Le Mayeur yang terletak di Pantai Sanur, 30 meter sebelah Utara Hotel Bali Beach. Museum ini menjadi salah satu bukti lembaran sejarah proses mendunianya kawasan Sanur. Sebutan Le Mayeur diambilkan dari nama seorang pelukis terkenal asal Brussel, Belgia, Adrean Jean Le Mayeur de Merpres.

Sebanyak 25 karya dari bahan hardboard, 6 buah bermedia triplek, 7 buah dari kertas dan 22 lainnya merupakan karya di atas bahan bagor (karung plastik). Selain buah karyanya selama di Sanur, beberapa lukisan merupakan hasil pengembaraannya di negara lain. Dengan membayar tiket Rp 2000 saja, pengunjung juga bisa menyaksikan perabot rumah tangga, buku-buku, sejumlah patung dan tentunya nuansa keasrian Sanur tempo dulu.

”Itu salah satu rute city tour yang selama ini diagendakan sejumlah biro perjalanan,” imbuh Putu Budiasa. Bila menginginkan suasana alam, katanya, tamu bisa diajak ke Pulau Serangan, kawasan Hutan Mangrove, atau Pantai Sanur.

Menyambut tahun kunjungan wisata 2008, Disparda Denpasar juga sedang mempersiapkan kegiatan menarik berupa Puputan Badung Carnival dan Gajah Mada Festival. ”Yang satu menonjolkan Denpasar tempo dulu, sedang satunya lagi lebih ke perniagaan dimana kawasan Gajah Mada merupakan cikal bakal perniagaan di Bali khususnya Denpasar,” pungkasnya.

Sumber :
Swastinah Atmodjo
http://www.balebengong.net/topik/budaya/2008/01/13/sejarah-dan-belanja-di-denpasar-city-tour.html
13 Januari 2008