Jumat, 04 Desember 2009

Pak Walikota, Buatlah Tempat Nongkrong di Denpasar

Salah satu hal menarik yang saya temui ketika numpang lewat di Mataram, Jumat pekan lalu adalah adanya tempat nongkrong di kota ini. Di Jalan Udayana, sekitar Bandara Selaparang, ada lokasi yang memang diperuntukkan untuk warga kota duduk santai di sini. Tak hanya bersantai-santai tapi juga bersantap enak dan murah.

Rizal Hakam, sopir taksi yang mengantar saya ke sini menyebut tempat ini kawasan jalan Udayana. Begitu pula dengan pedagang kaki lima yang saya ajak ngobrol malam itu. Jadi memang tidak ada nama khusus untuk menyebut lokasi ini. Saya sebut saja tempat ini pusat lesehan Udayana. Agak unik saja sih. Udayana tapi ada di Mataram.

Pusat lesehan Udayana ini persis di depan Bandara Selaparang. Hanya terpisah dua ruas jalan. Karena itu meski tujuan saya adalah ke bandara untuk balik ke Bali, saya minta turun di pusat lesehan ini saja.

Tempat ini berupa deretan lapak pedagang kaki lima (PKL) di pinggir taman jalan. Jadi ada jalan raya, taman, baru lapak-lapak PKL. Pengunjung bisa duduk di tikar yang digelar di atas rumput taman. Ada meja di tengah tikar tersebut. Satu tikar dan meja itu bisa cukup untuk 5-10 orang. Jadi saya bayangkan pasti asik banget untuk tempat nongkrong dan ngobrol.

Warung-warung di pusat lesehan ini menjual makanan berat dan ringan. Misalnya makanan besar seperti nasi goreng, pecel lele, plecing kangkung, dan seterusnya. Ada juga minuman hangat ataupun dingin seperti teh, jeruk, jus, dan sejenisnya.

Malam itu saya pilih menu sate bulayak, makanan khas Lombok. Menu ini berupa sate irisan daging sapi yang lebih mirip jeroan daripada daging karena saking tipisnya dengan bulayak, semacam ketupat tapi dibungkus berbentuk lonjong. Kalau di tempat kelahiran saya Lamongan, Jawa Timur, bulayak ini mirip lepet. Bedanya lepet dibuat dari ketan, sedangkan bulayak dari beras. Di Bali juga ada bulayak ini meski hanya biasa dimakan ketika upacara.



Sambil menikmati sate bulayak yang lumayan pedes dengan bumbu terbuat dari santan sangat kental dan merah kecoklatan karena cabe itu, saya duduk lesehan dan melihat anak-anak muda Mataram sedang nongkrong di sana. Lesehan itu di tempat terbuka. Jadi semilir angin sangat terasa. Ada beberapa meja tikar yang di bawah pohon. Tapi lebih banyak pula yang di tempat terbuka biasa saja.

Menurut pedagang tempat di mana saya duduk, lesehan ini buka sejak sekitar tiga tahun lalu. Di sepanjang jalan itu ada sekitar 200 PKL yang berdagang. Tapi saya perhatikan tempat itu rapi. Maksudnya tidak berantakan meskipun dipenuhi PKL. Artinya, PKL tidaklah berarti mengganggu wajah kota. Asal dikelola dengan baik, PKL akan menarik.

Sambil menyeruput jus apel segar hanya seharga Rp 5000, saya mikir, kenapa ya Denpasar tidak juga punya pusat lesehan semacam ini? Masak Denpasar kalah sama Mataram?

Kalau dipikir dari perspektif ekonomi, lumayan juga lho. Menurut pedagang itu, dalam satu malam dia bisa mendapat rata-rata Rp 500 ribu kalau lagi ramai. Kalau sepi pengunjung “hanya” sekitar separuhnya. Tiap malam dia membayar Rp 20 ribu sampai Rp 35 ribu untuk petugas penarik lapak. Untuk menyewa tempat tersebut, dia membayar Rp 50 ribu per tahun. Ada sekitar 200 PKL di tempat tersebut.

Jika, katakanlah rata-rata satu pedagang mendapat Rp 300 ribu satu malam, berarti ada Rp 60 juta uang berputar tiap malam di sana. Bagi saya sih itu lumayan besar. Tak heran jika di Mataram, kata ibu pedagang, ada tiga tempat nongkrong semacam pusat lesehan jalan Udayana ini. Semuanya difasilitasi Pemkot Mataram.

Selain Mataram, beberapa tempat yang pernah saya kunjungi juga punya pusat lesehan semacam ini. Di Solo, Jawa Tengah misalnya. Ada tempat nongkrong asik bernama Gladag Langen Bogan alias Galabo, tempat di mana pengunjung bisa menemukan aneka menu khas Solo. Nasi liwet, pecel, timlo, dan seterusnya.

Di Makassar juga ada pusat lesehan di dekat Pantai Losari. Ketika pertama kali ke Makassar, pusat jajanan ini persis di Pantai Losari. Tapi setahu saya kemudian dipindah agak ke selatan dari lokasi semula.

Bahkan kota kecil semacam Parepare di Sulawesi Selatan juga punya. Jadi kalau ingin makan nasi murah meriah kita tinggal pergi ke tempat tersebut.

Semua lesehan di kota-kota itu tertata rapi. PKL dilokalisir di satu tempat sehingga tidak mengganggu wajah kota.

Pusat lesehan atau makanan ketika malam itu, menurut saya, bukan hanya untuk nongkrong tapi sekaligus sebagai identitas kota. Dia akan mengingatkan pengunjung akan kota tersebut. Selama ini saya suka bingung kalau ada teman datang ke Bali dan mau diajak jalan-jalan malam. Paling mentok ya akhirnya di angkringan di Pasar Burung Sanglah.

Denpasar punya beberapa tempat menarik, sebenarnya. Misalnya di perempatan Catur Muka, Taman Kota Lumintang, atau samping Stadion Ngurah Rai. Daripada nganggur, tempat-tempat itu bisa jadi semacam tempat lesehan atau jajanan ketika malam.

Tinggal bagaimana pemerintah mengaturnya agar tempat itu terjaga rapi. Misalnya dengan membatasi jumlah pedagang atau mewajibkan mereka menjaga kebersihan. Menu yang dijual haruslah menu khas Bali seperti lawar, serombotan, jaja bali, plecing, sate lilit, dan seterusnya. Dengan begitu, pusat lesehan ini sekaligus berfungsi untuk melestarikan makanan lokal. Biar tidak hanya sari laut lamongan (hidup Lamongan! Hehehe) dan Circle K yang memenuhi jalan di Denpasar dan, sorry to say, agak mengganggu pemandangan.

Di sisi lain, adanya tempat lesehan juga akan menghidupkan kembali budaya tatap muka ketika hari-hari kita lebih banyak dipenuhi komunikasi lewat dunia maya. Ini penting. Sebab ketika bertatap muka dan ketemu teman untuk ngobrol, biasanya ada saja ide yang lahir. Saya yakin kalau ada tempat semacam itu, Denpasar juga akan dipenuhi ide-ide kreatif warganya yang lahir dari jagongan, cangkruk, dan semacamnya itu.

Maka, Pak Walikota. Segeralah bikin pusat lesehan di Denpasar. [b]

Sumber :
Anton Muhajir
http://www.rumahtulisan.com/13/09/2009/perjalanan/pak-walikota-buatlah-tempat-nongkrong-di-denpasar.html
13 September 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar